Anak Sulung
“Kenapa
kamu biarkan adikmu terjatuh dari tempat tidur? Kenapa kau tidak menjaganya
dengan baik? Kenapa kamu begitu ceroboh?” bentak mamanya setelah mendengar
tangisan suara Ninda yang telah tergeletak di lantai.
“Maafkan Andin ,Ma. Saat Andin
terbangun, Ninda sudah terjatuh dari tempat tidur. Andin tidak tahu kalau Ninda
sudah bangun, Ma” ujar Andin memelas.
“Kenapa kamu sampai tertidur? Mama
menyuruh kamu menjaga Andin, bukan menyuruhmu tidur. Dasar anak nakal! Nakal
kamu!” bentak mamanya geram dengan tangan yang asik memelintir paha Andin.
Andin pun menangis menahan perih di pahanya yang mulai membiru.
Sejak
kejadian itu Andin merasa perhatian yang dulu ia dapatkan dari mamanya kini seolah
direnggut oleh Ninda, adiknya. Ia menyadari sifat mamanya yang lembut kini
telah berubah menjadi kejam padanya. Namun berbeda saat bersama Ninda, Andin
melihat mamanya yang nampak begitu menyayangi Ninda. Andin muak melihat mama
dan adiknya yang seolah bahagia diatas penderitaan yang dirasakan Andin. Andin
merasa dirinya adalah seorang anak yang dikucilkan oleh mama dan adiknya. Ada
benih kebencian yang mulai tumbuh dalam dada gadis kecil itu saat melihat dua
makhluk yang dulu begitu ia sayangi.
Andin
begitu bahagia saat tahu ia mempunyai adik. “Adik itu apa, Ma?” tanya Andin
polos setelah tahu perut mamanya yang membesar beberapa waktu lalu kini telah
kembali rata. Andin tahu bahwa ia akan memiliki seorang adik. Usianya yang
masih tergolong kecil memang pantaslah tidak terlalu mengetahui seluk beluk
dunia yang bisa dibilang ruwet, termasuk maksud dari kata ‘adik’.
“Adik
itu seperti teman bermain yang akan membuat kamu bahagia seharian” ujar mama
muda itu yang juga mulai kebingungan memberitahu anak sulungnya yang mulai
menunjukkan kecerdasannya. ‘Tentulah
kecerdasan itu diwarisi olehku’ batin mama itu dengan bangga ketika ibu-
ibu komplek memuji kecerdasan anak sulungnya itu.
Andin
melompat girang mendengar hal itu. Ia memandangi wajah mungil di dekapan ibunya
dan mencium adiknya. “Adik cantik ya, Ma” ujar Andin yang dijawab dengan
anggukan dari mamanya. Ia begitu bahagia telah memiliki adik. Ia merasa rumah
adalah tempat yang menyenangkan semenjak kehadiran Ninda dalam keluarganya. Kebahagiaannya
itu seolah ingin dibagikan kepada sahabatnya, Hafiz. Sesampainya di sekolah,
Andin dengan menggebu menceritakan semua tentang adiknya.
“Kau
kira hidupmu akan lebih bahagia bila ada seseorang yang akan mengganggu
kedamaianmu?” ujar Hafiz setelah mendengar cerita bahagia sahabatnya. Wajah
Hafiz yang seperti tidak suka itu membuat Andin heran dan mengerutkan dahinya.
Melihat kebingunan di wajah Andin, Hafiz menarik napas panjang lalu menundukkan
kepala. Setelah beberapa saat ia kembali memandangi Andin yang masih
kebingungan sedari tadi. “Manusia kecil itu tak ubahnya seperti iblis yang
ingin membunuhmu. Sekarang kau belum menyadarinya, namun cepat atau lambat kau
akan merasakan gemuruh di dadamu yang luar biasa, dan kau akan merasakan
tubuhmu bagai diterbangkan dengan rasa bahagiamu dan tiba – tiba kau akan dihempaskan ke
jurang terdalam karena rasa bahagiamu. Dan kau akan menyadarinya” Hafiz lalu
keluar dari kelas itu dan meninggalkan Andin dengan segala kebingungan yang
tidak ia pahami. Perkataan Hafiz seolah berputar mengitari setiap sudut otak
Andin yang berusaha untuk memahami satu persatu ucapan Hafiz. Andin tidak
begitu mempermasalahkan hal itu karena
rasa bahagia akan adiknya melebihi dari rasa penasarannya akan maksud dari
perkataan Hafiz.
Kebahagiaan
itu tidak berlangsung lama. Andin merasa dibedakan oleh mamanya. Sifat mamanya
yang begitu lembut saat bersama Ninda berubah jahat ketika bersama Andin. Sejak
kejadian jatuhnya Ninda dan Andin yang menjadi omelan mamanya, Andin merasa
rumah tak lagi menyenangkan seperti sebelumnya. Seperti halnya saat keluarga
kecil itu berencana pergi berlibur, tak ada kebahagiaan yang biasa Andin
rasakan saat pergi berlibur bersama keluarga. Hanya rasa muak yang menggerogoti
hatinya.
Kemacetan
ibu kota seolah menjadi kekesalan tersendiri untuk pengendara yang
mengalaminya. Namun berbeda dengan pengendara lain, keluarga kecil itu seolah
bahagia dengan rencana liburan mereka. Semua orang di dalam mobil itu seolah
bahagia bisa berkumpul dan bersenang – senang, kecuali Andin. Ia hanya berdiam diri
dengan memeluk boneka di lengan kiri dengan kedua tangan yang asik bermain PSP. Ia seolah tidak peduli dengan kesibukan keluarganya yang mengobrol
dan sesekali bermain dengan Ninda.
Mobil
itu membelokkan kemudinya ke dalam pom bensin dan menunggu giliran pengisian
bensin. Andin berhenti mengutak – atik PSP-nya
setelah mendengar teriakan beberapa warga di sekitar pom bensin.
“Kecelakaan
pak. Ada motor yang menyebrang lewat rel kereta. Pas ditengah rel motornya gak bisa jalan padahal ada kereta yang
jalan. Motornya gak sempat minggir, dilindes deh” ujar seorang supir truk yang juga sedang menunggu antrian saat
ditanya papa Andin suara apa yang mereka dengar tadi. Semua orang menganggukkan
kepala mereka setelah mendengar supir tersebut menjelaskan kronologis
kecelakaan dengan panjang lebar.
Tak
jauh dari pom bensin itu terdapat lintasan rel kereta api yang rawan akan
kecelakaan antara pengguna jalan raya dan kereta api. Semua orang yang melihat
kejadian itu berlari berbondong – bondong
menuju tempat kejadian. Ada yang membantu memindahkan korban, ada yang
hanya sekedar melihat, dan ada juga menolong barang – barang korban yang
berserakan lalu membawanya entah kemana. Suasana begitu tegang dengan
berkumpulnya orang – orang yang bejubel di sekitar rel kereta api. Ketegangan itu
mulai tenang dan aktivitas jalan raya juga mulai kembali kondusif saat pihak dari
kepolisian dan sebuah ambulan mulai menangani kecelakaan tersebut.
Andin
yang sudah terlalu muak dengan semua dialog para manusia itu, ingin segera
lenyap dari mobil itu. Walaupun semua orang membahas kecelakaan itu, pandangan
Andin tidak pernah lepas dari mama dan adiknya yang tak pernah berpisah sedetik
pun. Kebenciannya kian bertambah tiap kali melihat adik mama dan adiknya
bersama. Ia melompat dari dalam mobil dan berjalan menuju toilet pom bensin.
Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar suara memanggilnya.
“Ke
toilet” kata Andin ketika mama menanyakan kemana dia akan pergi.
“Jangan lama – lama ya sayang” kata mama yang
disusul dengan anggukan kepala Andin. Ia sudah muak dengan panggilan ‘sayang’ oleh
orang yang dulu begitu ia sayangi. Namun, rasa sayangnya kini telah hancur
diinjak – injak oleh manusia kecil yang baru memasuki kehidupan keluarga
kecilnya, Ninda.
Di
dalam toilet, Andin menangis tersedu ketika membayangkan kebersamaan mama dan
adiknya. Teringat pula ketika tangan lembut mamanya mencubit, memukul, bahkan
kadang mencambuk tubuhnya demi untuk membela Ninda. ‘Begitu bencikah Mama padaku? Begitu berartikah Ninda hingga aku
ditelantarkan?’ batin Andin sedih. Ada perasaan dendam yang kembali muncul
dalam hatinya. Setelah puas menangis ia keluar dari toilet dengan pikiran yang
dipenuhi dengan adegan kemesraan mama dan adiknya. Andin berjalan dengan
sempoyongan dan terlihat tatapannya yang kosong yang tanpa ia sadari ia
memasuki area rel kereta api tanpa palang pintu kereta. Mama berhenti bermain
dengan Ninda saat melihat putrinya berjalan melamun menuju lintasan rel, mama
memanggil Andin untuk kembali. Namun terikan mama tidak terdengar oleh Andin
yang melamun, ia terus berjalan.
Lamunan
Andin buyar saat berada ditengah rel kereta api dan ia kesulitan untuk berjalan, sandal yang
dipakainya tersangkut diantara celah kayu rel. Ia kesuliatan melepas sandalnya
dari rel. Ia bisa saja melepas sandal itu bila ia menariknya ke sisi yang lain.
Tak jauh dari Andin, mamanya terlihat kebingungan bagaimana cara menolong anak
sulungnya itu, sementara di pangkuannya Ninda juga menangis dengan semakin
meningkatkan volume suaranya karena sengatan sinar sang mentari. Sebuah kereta
api terlihat akan melewati rel tempat Andin berdiri, semakin bertambah paniklah
mama.
Saat
kereta tinggal beberapa meter lagi dari Andin, mama merasa tak sanggup bila
harus melihat anaknya terlindas kereta. Dengan tetap menggendong Ninda, mama
berlari menghampiri Andin yang masih terlihat berusaha melepas sandalnya dari
rel kereta.
“Lari
Andin, lari!“ teriak mama. Pada saat itulah Andin dengan mudah melepas sandal
itu dan menjauh dari rel kereta api. Tinggallah Mama yang berdiri di atas rel
kereta api setelah melihat Andin menjauh dari rel. ‘Anakku selamat’ batinnya dengan perasaan lega dan senyuman yang
tersungging di bibirnya. Tak lama kemudian, sosok Mama itu menghilang dari
pandangan Andin bagai tertelan oleh ular mesin yang berada di depannya. Orang –
orang yang berada di sekitar rel kembali berkerumun melihat seorang wanita dan
anak kecil yang tergeletak di dekat rel dengan cairan merah yang menyelimuti
tubuh mereka.
Setelah
Andin melihat kereta api yang memisahkan Andin dengan mamanya, ia segera
meninggalkan keramaian dan keributan di seberang kereta. Ia kembali ke dalam
mobil dan bertemu dengan papa yang baru saja keluar dari toilet setelah mengisi
bensin. “Mana Mama dan Ninda?” tanya papanya.
“Entahlah”
singkat Andin.
“Kenapa
orang – orang itu? Kenapa mereka berkerumun di rel kereta api itu? Pasti ada
kecelakaan lagi. Andin kalo udah besar jangan tledor ya. Harus patuhi peraturan
lalu lintas ya” ujar Papa Andin. Andin mengangguk dan kembali memeluk bonekanya
dan bermain dengan PSP-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar